Laman

Jumat, 19 Oktober 2012

Kenangan Dalam Debu


Hangatnya cahaya bola kuning besar tampak semu tertutup awan menyinari teras rumah mungil ini, ku terdiam di relung kursi ukir kayu yang masih tampak kokoh meski telah berabad-abad menanggung beban, lembutnya angin dalam embun pagi menarik memoriku kembali, sementara secangkir teh sudah mulai dingin di sampingku.
Akhir-akhir ini aku sering memandangi sebuah liontin perak cantik yang tergenggam di tanganku, pantulan peraknya seolah takkan pernah pudar dimakan waktu. Mungkin, karena sahabatku akan datang kemari? Meski aku sangat ingin berjumpa wajah merahnya yang cantik, tetapi tidak akan mungkin di balik rimba yang berbahaya ini, dan aku tidak ingin ia terluka.
Dedaunan semak mulai bergesek-gesek, mungkin saja para geriliya sedang lewat, harusnya aku segera masuk, tetapi aku tidak ingin melewatkan kecerahan pagi ini “Hai” seru suara indah yang rasanya tidak mungkin kupercaya di sini. Aku segera menoleh ke arah suara tersebut, meski tidak kupercayai mataku sendiri, tetapi tampaknya telingaku mengungkap yang sebenarnya.
“Li...li...liana?” Kataku pelan dengan nada tidak percaya “Iya Rista, ini aku” Kata Liana dengan lembut “Aku sudah bilang jangan kemari, bagaimana caramu menemukankku?” Tanyaku “Dari warga di desa sebelah” Jawab Liana “Li, ini terlalu berbahaya” Kataku “Tetapi kamu di sini, aku tidak akan takut” Kata Liana “Sudah tugasku untuk berada di sini, menjadi seorang dokter memang cita-citaku” Kataku “Iya, tapi seingatku, kau tak pernah bilang mengenai rimba” Kata Liana sambil tersenyum dan memelukku erat, seolah melepas kerinduan seribu tahun.
Tiba-tiba terdengar suara timah panas berdesing di sekitar kami, ketakutan mencengkram batinku saat kulihat delapan orang bergerak menuju rumahku, siapakah mereka? Kawan dan lawan seolah tak ada beda, mereka sama-sama orang kejam yang membantai kami dengan makan lapar dan minum darah.
Kaki kami seolah terpaku erat ke lantai dan tetesan air mengucur dari kelenjar keringatku, saat itu aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi kecuali genggaman tangan sahabatku yang mulai basah karena keringat dan sedetik kemudian, Liana kehilangan keseimbangan dan pukulan keras mendarat di belakang kepalaku dan segalanya menjadi buram dan kakiku terasa amat lemas, suara terakhir yang kudengar adalah benturan tubuhku dengan lantai kayu rumahku.
Ketika aku terbangun oleh guncangan lembut Liana, yang ada hanya kegelapan di setiap mata memandang, aku mulai takut apabila aku menjadi buta akibat kerasnya pukulan tadi “Li, semuanya gelap” Kataku dengan pelan dan air mata mulai terjatuh saat membayangkan jika diriku mengalami kebutaan, Liana hanya terdiam seribu bahasa, kegelapan itu menjadi selimut sunyi yang amat mencekam, ya Tuhan, dimana sahabatku? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku di mana?
Sejuta pertanyaan membelitku “Li” Kataku pelan berusaha mencarinya “Iya Ris” terdengar suara lembut memecahkan keheningan yang mulai melepaskan cengkramannya, Liana segera memegang tanganku dan aku segera memeluknya “Li, di sini gelap” Kataku pelan “Iya Ris, di sini gelap” Kata Liana dan hal itu membuatku bisa sedikit bernafas lega, dan aku yakin, aku tidaklah buta.
Mendadak tampak cahaya kecil merobek kegelapan ini dan terdengar suara yang terasa berat dan menakutkan memanggil namaku dan berkata aku akan dibebaskan atas nama negaraku tercinta, aku menoleh ke arah Liana yang ketakutan di wajahnya terbiaskan dari air mata yang deras mengalir “Li, bilang saja namamu adalah Rista” Kataku sambil memaksakan senyum di wajahku yang telah banjir dengan ketakutan “Tapi Ris, itu bukan hakku dan negara sangat membutuhkanmu” Kata Liana “Tidak Li, aku yang sangat membutuhkanmu, berada di sini adalah resiko, aku akan menunggumu kembali” Kataku yang saat itu tidak dapat membendung air mata lagi “Pergi Li, lanjutkan hidupmu menjadi seorang penulis” Kataku seraya memberikan liontin perakkku kepadanya sementara pintu di luar mulai dibuka.
“Dimana Rista?” Tanya orang yang dengan kakinya menginjak hak kami “Dia” Jawabku dan Liana hanya bisa terdiam menuruti rencanaku, air matanya kini membiaskan cahaya persahabatan kami, aku berusaha menahan keinginanku untuk mengaku bahwa akulah Rista.
Tanpa panjang lebar lagi, ia segera membawa Liana keluar yang ia sangka adalah Rista, sementara ada seorang laki-laki yang tampak besar dan menutupi sebagian besar cahaya dari pintu yang kemudian ia tutup dan membuat kegelapan kembali datang.
Ketakutan mencengkramku, aku siap untuk kemungkinan terburuk hingga kematian yang ia percepat datang padaku, dan aku ingin sekali mengatakan “Ya Tuhan, aku ingin Liana tahu aku sayang sama dia” Bisikku pelan sementara air mata mengalir deras di pipiku dan aku terduduk dengan memegang erat kedua kakiku yang mulai gemetar.
“Tuhan, semuanya ini pasti adalah yang terbaik untukku” Kataku dalam hati ketika orang tersebut memegang pundakku dan berbisik “Terlalu cantik untuk mati” katanya yang membuatku semakin gemetar, kemudian ia merangkulku dan beberapa detik kemudian leherku terasa perih dan semua terasa berputar dan seberkas cahaya membuatku melihat tubuh seorang gadis dan detik kemudian cahaya putih mengantarku naik, mungkinkah aku telah tiada? Jika iya, berarti Liana tak perlu kembali kemari dan kuharap ia tahu aku sayang padanya dan kutunggu ia di tempat yang indah ini...



by: Kristina Andita Pradani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar