Hangatnya cahaya
bola kuning besar tampak semu tertutup awan menyinari teras rumah mungil ini,
ku terdiam di relung kursi ukir kayu yang masih tampak kokoh meski telah
berabad-abad menanggung beban, lembutnya angin dalam embun pagi menarik
memoriku kembali, sementara secangkir teh sudah mulai dingin di sampingku.
Akhir-akhir ini
aku sering memandangi sebuah liontin perak cantik yang tergenggam di tanganku,
pantulan peraknya seolah takkan pernah pudar dimakan waktu. Mungkin, karena
sahabatku akan datang kemari? Meski aku sangat ingin berjumpa wajah merahnya
yang cantik, tetapi tidak akan mungkin di balik rimba yang berbahaya ini, dan
aku tidak ingin ia terluka.
Dedaunan semak
mulai bergesek-gesek, mungkin saja para geriliya sedang lewat, harusnya aku
segera masuk, tetapi aku tidak ingin melewatkan kecerahan pagi ini “Hai” seru
suara indah yang rasanya tidak mungkin kupercaya di sini. Aku segera menoleh ke
arah suara tersebut, meski tidak kupercayai mataku sendiri, tetapi tampaknya
telingaku mengungkap yang sebenarnya.
“Li...li...liana?”
Kataku pelan dengan nada tidak percaya “Iya Rista, ini aku” Kata Liana dengan
lembut “Aku sudah bilang jangan kemari, bagaimana caramu menemukankku?” Tanyaku
“Dari warga di desa sebelah” Jawab Liana “Li, ini terlalu berbahaya” Kataku
“Tetapi kamu di sini, aku tidak akan takut” Kata Liana “Sudah tugasku untuk
berada di sini, menjadi seorang dokter memang cita-citaku” Kataku “Iya, tapi
seingatku, kau tak pernah bilang mengenai rimba” Kata Liana sambil tersenyum
dan memelukku erat, seolah melepas kerinduan seribu tahun.
Tiba-tiba
terdengar suara timah panas berdesing di sekitar kami, ketakutan mencengkram
batinku saat kulihat delapan orang bergerak menuju rumahku, siapakah mereka?
Kawan dan lawan seolah tak ada beda, mereka sama-sama orang kejam yang
membantai kami dengan makan lapar dan minum darah.
Kaki kami seolah
terpaku erat ke lantai dan tetesan air mengucur dari kelenjar keringatku, saat
itu aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi kecuali genggaman tangan sahabatku
yang mulai basah karena keringat dan sedetik kemudian, Liana kehilangan
keseimbangan dan pukulan keras mendarat di belakang kepalaku dan segalanya
menjadi buram dan kakiku terasa amat lemas, suara terakhir yang kudengar adalah
benturan tubuhku dengan lantai kayu rumahku.
Ketika aku
terbangun oleh guncangan lembut Liana, yang ada hanya kegelapan di setiap mata
memandang, aku mulai takut apabila aku menjadi buta akibat kerasnya pukulan
tadi “Li, semuanya gelap” Kataku dengan pelan dan air mata mulai terjatuh saat
membayangkan jika diriku mengalami kebutaan, Liana hanya terdiam seribu bahasa,
kegelapan itu menjadi selimut sunyi yang amat mencekam, ya Tuhan, dimana
sahabatku? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku di mana?
Sejuta pertanyaan
membelitku “Li” Kataku pelan berusaha mencarinya “Iya Ris” terdengar suara
lembut memecahkan keheningan yang mulai melepaskan cengkramannya, Liana segera
memegang tanganku dan aku segera memeluknya “Li, di sini gelap” Kataku pelan
“Iya Ris, di sini gelap” Kata Liana dan hal itu membuatku bisa sedikit bernafas
lega, dan aku yakin, aku tidaklah buta.
Mendadak tampak
cahaya kecil merobek kegelapan ini dan terdengar suara yang terasa berat dan
menakutkan memanggil namaku dan berkata aku akan dibebaskan atas nama negaraku
tercinta, aku menoleh ke arah Liana yang ketakutan di wajahnya terbiaskan dari
air mata yang deras mengalir “Li, bilang saja namamu adalah Rista” Kataku
sambil memaksakan senyum di wajahku yang telah banjir dengan ketakutan “Tapi
Ris, itu bukan hakku dan negara sangat membutuhkanmu” Kata Liana “Tidak Li, aku
yang sangat membutuhkanmu, berada di sini adalah resiko, aku akan menunggumu
kembali” Kataku yang saat itu tidak dapat membendung air mata lagi “Pergi Li,
lanjutkan hidupmu menjadi seorang penulis” Kataku seraya memberikan liontin
perakkku kepadanya sementara pintu di luar mulai dibuka.
“Dimana Rista?”
Tanya orang yang dengan kakinya menginjak hak kami “Dia” Jawabku dan Liana
hanya bisa terdiam menuruti rencanaku, air matanya kini membiaskan cahaya
persahabatan kami, aku berusaha menahan keinginanku untuk mengaku bahwa akulah
Rista.
Tanpa panjang
lebar lagi, ia segera membawa Liana keluar yang ia sangka adalah Rista,
sementara ada seorang laki-laki yang tampak besar dan menutupi sebagian besar
cahaya dari pintu yang kemudian ia tutup dan membuat kegelapan kembali datang.
Ketakutan
mencengkramku, aku siap untuk kemungkinan terburuk hingga kematian yang ia
percepat datang padaku, dan aku ingin sekali mengatakan “Ya Tuhan, aku ingin
Liana tahu aku sayang sama dia” Bisikku pelan sementara air mata mengalir deras
di pipiku dan aku terduduk dengan memegang erat kedua kakiku yang mulai
gemetar.
“Tuhan, semuanya
ini pasti adalah yang terbaik untukku” Kataku dalam hati ketika orang tersebut
memegang pundakku dan berbisik “Terlalu cantik untuk mati” katanya yang
membuatku semakin gemetar, kemudian ia merangkulku dan beberapa detik kemudian
leherku terasa perih dan semua terasa berputar dan seberkas cahaya membuatku
melihat tubuh seorang gadis dan detik kemudian cahaya putih mengantarku naik,
mungkinkah aku telah tiada? Jika iya, berarti Liana tak perlu kembali kemari
dan kuharap ia tahu aku sayang padanya dan kutunggu ia di tempat yang indah
ini...
by: Kristina Andita Pradani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar