Laman

Jumat, 02 November 2012

Pilihan Dalam Air Mata

Nggak ada angin, nggak ada hujan, Bella menamparku di pagi hari Sabtu yang cerah dengan matahari yang tampak malu2 di balik awan.
“Bel, apa-apaan ini?” Tanyaku heran “Ingat nggak janji kita semalam?” Bella balik bertanya, astaga! Aku lupa meneleponnya! Pasti Bella sudah menungguku sejak lama! ”Ingat dong janjimu!” Kata Bella dan kemudian ia pergi dari hadapanku.
Aku segera mengejarnya dan berusaha meminta maaf, berbuat baik padanya juga sudah kulakukan, tetapi tetap saja senyum ketusnya yang nampak dan dia terus saja diam, membuatku frustasi! Akhirnya kutinggalkan dia agar dia mendapat waktu untuk berfikir jernih.
Siang hari yang panas mulai datang dan kucoba untuk mengamati Bella, hmm... tampaknya ia masih marah padaku, uuh, konyol banget sih masalahnya? Padahal di hari Sabtu ini aku biasanya jalan-jalan dengan Bella, tapi... karena masalah konyol ini aku hanya bisa mengikuti Bella memasuki gedung olahraga tempat biasanya kami berdua berlatih bulu tangkis, di hari Sabtu ini memang sepi karena liburan panjang yang telah tiba.
Mendadak tanah yang kupijak mulai bergetar, awalnya pelan dan aku pun panik, tetapi aku tidak ingin meninggalkan Bella, akhirnya gempa mulai kuat hingga tanah mulai retak, tetapi mendadak berhenti ”Bella! Bella!” Teriakku berlari ke arah Bella ”Ayo keluar!” Kataku ”Ok, Ven” Jawab Bella yang tampaknya masih saja marah padaku di saat seperti ini, tetapi wajah takut jelas tergambar di wajahnya sat bumi kembali bergetar dan langkahnya yang perlahan itu terhenti, aku malah segera menariknya untuk berlari keluar melalui retakan-retakan yang makin lebar, tetapi gedung olahraga itu sangat tidak mendukung, pintu utama pun terhalang oleh atap yang roboh dan dalam hitungan detik, atappun roboh menimpa kami dan hanya meninggalkan rongga kecil untuk kami.
“Bel, kamu nggak apa-apa kan?” Tanyaku sambil meringkuk di celah itu bersama Bella “Iya Ven, tapi sempit nih” Jawab Bella “Eh, Bel lihat itu!” Kataku sambil berusaha menunjuk ke arah lubang kecil yang menjadi satu-satunya cahaya kami ”Kita bisa keluar lewat sana!” Teriak Bella dengan girang, tetapi mendadak wajahnya kembali cemberut “Tapi Ven, hanya ada satu orang yang bisa keluar” Kata Bella, aku terkejut dengan jawaban Bella, segera kuamati celah kecil itu dan ketika seorang dari kita keluar, jelas-jelasakan menyenggol sebatang besi yang akan menimbulkan reaksi beruntun yang akan menutup lubang tersebut atau parahnya, merobohkan bangunan hingga rata dengan tanah “Aduh Bel, aku nggak mau keluar tanpa kamu” Kataku “Sudahlah Ven, kaluar saja!” Kata Bella dengan suara tergetar, aku tahu ia takut, tetapi mengapa ia berkata demikian? Bukankah dia masih marah padaku?
“Dengar Ven, kamu terjebak di sini kan karena aku, kamu yang harus keluar” kata Bella, dan air mataku pun mengalir saat mendengar sahabatku berkata demikian, padahal beberapa menit lalu kita masih marahan karena hal yang  konyol “Bel, kamu bilang apa sih? Kita tunggu saja sebentar, pasti akan ada bantuan!” Kataku sedikit membentak untuk meyakinkan Bella, dan kurasa Bella hanya diam menanggapi sikapku.
Beberapa menit yang panjang telah berlalu dan telah terganti oleh jam-jam menegangkan dalam hidup kami, entah berapa lama kami berada di sana, tetapi dari jam tanganku, kami telah terjebak tanpa bisa bergerak bebas selama hampir 3 jam dan tiada sinyal di handphone kami, suasana di atas yang awalnya ramai menjadi kian sunyi, dan meski kami terus berteriak-teriak tiap ada harapan, tampak tidak membuahkan apa-apa.
“Ven, udah tiga jam nih, kamu keluar sana” Kata Bella, sejujurnya aku mau bertahan labih lama lagi asal Bella selamat, atau lebih baik jika Bella yang keluar, tetapi Bella terus saja memojokkanku, hingga akhirnya aku mengambil langkah pendakian pertama menuju celah itu.
Dengan amat sangat hati-hati aku mulai merangkak naik hingga mencapai lubang itu, aku berhenti sejenak, kamudian mulai keluar dari lubang dan langsung terjatuh ke luar sementara kausku sobek terkena besi penentu yang tak mungkin kuhindari.
Lega dapat menghirup udara segar, tetapi mataku mulai buram, dan terdengar suara kertakan di belakangku, segera saja aku berusaha berdiri meski kakiku terasa amat lemas dan tidak kuperhatikan darah yang mengalir dari tubuhku, aku hanya terfokus pada bangunan yang jatuh menimpa Bella sahabat baikku.
Meski tenagaku terkuras dan darah terus mangalir, aku tetap berusaha mencari Bella dalam reruntuhan itu, kukeluarkan semua tenaga dan pikiranku untuk membuka kayu demi kayu dan batu bata di depanku, aku berusaha berteriak memanggil Bella meski kerongkonganku terasa sakit, dan aku terus berharap pada Tuhan agar Bella tetap hidup saat kutemukan dia.
Pencarianku membuahkan hasil, dapat kulihat Bella tergeletak lemas, tetapi matanya masih memandangku dan senyum kecilnya masih mengarah padaku, aku segera mengulurkan tanganku untuk memegang tangannya sementara tangan kiriku masih terus membuka kayu yang menghalangi, hingga akhirnya ia dapat kutarik keluar.
“Bel, kamu nggak apa-apa?” Tanyaku panik “Nggak tau Ven” Bisiknya lirih, aku nggak tau apa yang harus kulakukan, dan akhirnya aku menggendong Bella menuju rumah sakit yang kuharpkan masih berdiri.
Dengan sisa tenaga terakhirku kubawa sahabatku dalam pangkuan tanganku yang bergemetaran karena lelah “Udah Ven, nggak usah” Bisik Bella pelan “Nggak Bel, aku masih sehat” Kataku sambil tersenyum menutupi fakta yang sebenarnya bahwa tenagaku hampir habis.
Mungkin baru separuh perjalanan, aku hampir pingsan, tetapi tidak kubiarkan Bella menderita, tetapi... kakiku tidak bisa diajak kompromi, aku terjatuh di atas dua lututku dan tetap berdoa agar Tuhan menolong kami.
Kurasa doaku telah Ia dengar, suara sirine ambulance mendatangi kami dan berhenti di samping kami. Yang kuingat saat itu adalah beberapa orang mengenakan baju putih turun dan segera menolong Bella, dan setelah itu... aku tidak tahu apa yang terjadi, sebab mataku telah gelap.
Ketika aku terbangun, yang kulihat adalah langit yang tampak biru seperti biasanya, ah, berarti aku masih di bumi. Segera saja aku duduk dan berusaha berdiri, namun ada seorang wanita cantik yang menyuruhku tetap tenang “Nggak mbak, aku nggak apa-apa” Kataku seraya berdiri dan melihat sekitarku, yang ada hanya kumpulan orang-orang korban gempa dan para relawan “Bella, Bella” Erangku pelan, entah kenapa suaraku tertahan di tenggorokkanku, aku segera berjalan mencari Bella di antara kerumunan orang, kurasa kakiku kali ini cukup dapat diajak kompromi dan suaraku mulai berkerjasama, sekuat tenaga aku memanggil nama Bella, meski kurasa itu tidak cukup keras.
Hingga akhirnya kutemukan Bella sedang duduk dan tampak bingung, kepala, tangan dan kakinya terperban, hampir mirip mumi, hahaha.
Aku segera manghampiri sahabatku dan memeluknya dengan hati-hati seolah tak ingin dia lepas dari pandanganku “Ven, makasih ya, kamu sudah menolongku” Kata Bella “Bukan Bel, ini pertolongan Tuhan” Jawabku dan takingin rasanya kehilangan satu-satunya sahabat terbaikku, yaitu Bella.

oleh : Kristina Andita Pradani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar