Nggak ada angin,
nggak ada hujan, Bella menamparku di pagi hari Sabtu yang cerah dengan matahari
yang tampak malu2 di balik awan.
“Bel, apa-apaan
ini?” Tanyaku heran “Ingat nggak janji kita semalam?” Bella balik bertanya,
astaga! Aku lupa meneleponnya! Pasti Bella sudah menungguku sejak lama! ”Ingat
dong janjimu!” Kata Bella dan kemudian ia pergi dari hadapanku.
Aku segera
mengejarnya dan berusaha meminta maaf, berbuat baik padanya juga sudah
kulakukan, tetapi tetap saja senyum ketusnya yang nampak dan dia terus saja
diam, membuatku frustasi! Akhirnya kutinggalkan dia agar dia mendapat waktu
untuk berfikir jernih.
Siang hari yang
panas mulai datang dan kucoba untuk mengamati Bella, hmm... tampaknya ia masih
marah padaku, uuh, konyol banget sih masalahnya? Padahal di hari Sabtu ini aku
biasanya jalan-jalan dengan Bella, tapi... karena masalah konyol ini aku hanya
bisa mengikuti Bella memasuki gedung olahraga tempat biasanya kami berdua berlatih
bulu tangkis, di hari Sabtu ini memang sepi karena liburan panjang yang telah
tiba.
Mendadak tanah
yang kupijak mulai bergetar, awalnya pelan dan aku pun panik, tetapi aku tidak
ingin meninggalkan Bella, akhirnya gempa mulai kuat hingga tanah mulai retak,
tetapi mendadak berhenti ”Bella! Bella!” Teriakku berlari ke arah Bella ”Ayo
keluar!” Kataku ”Ok, Ven” Jawab Bella yang tampaknya masih saja marah padaku di
saat seperti ini, tetapi wajah takut jelas tergambar di wajahnya sat bumi
kembali bergetar dan langkahnya yang perlahan itu terhenti, aku malah segera
menariknya untuk berlari keluar melalui retakan-retakan yang makin lebar,
tetapi gedung olahraga itu sangat tidak mendukung, pintu utama pun terhalang
oleh atap yang roboh dan dalam hitungan detik, atappun roboh menimpa kami dan
hanya meninggalkan rongga kecil untuk kami.
“Bel, kamu nggak
apa-apa kan?” Tanyaku sambil meringkuk di celah itu bersama Bella “Iya Ven,
tapi sempit nih” Jawab Bella “Eh, Bel lihat itu!” Kataku sambil berusaha
menunjuk ke arah lubang kecil yang menjadi satu-satunya cahaya kami ”Kita bisa
keluar lewat sana!” Teriak Bella dengan girang, tetapi mendadak wajahnya
kembali cemberut “Tapi Ven, hanya ada satu orang yang bisa keluar” Kata Bella,
aku terkejut dengan jawaban Bella, segera kuamati celah kecil itu dan ketika
seorang dari kita keluar, jelas-jelasakan menyenggol sebatang besi yang akan
menimbulkan reaksi beruntun yang akan menutup lubang tersebut atau parahnya,
merobohkan bangunan hingga rata dengan tanah “Aduh Bel, aku nggak mau keluar
tanpa kamu” Kataku “Sudahlah Ven, kaluar saja!” Kata Bella dengan suara
tergetar, aku tahu ia takut, tetapi mengapa ia berkata demikian? Bukankah dia
masih marah padaku?
“Dengar Ven, kamu
terjebak di sini kan karena aku, kamu yang harus keluar” kata Bella, dan air
mataku pun mengalir saat mendengar sahabatku berkata demikian, padahal beberapa
menit lalu kita masih marahan karena hal yang
konyol “Bel, kamu bilang apa sih? Kita tunggu saja sebentar, pasti akan
ada bantuan!” Kataku sedikit membentak untuk meyakinkan Bella, dan kurasa Bella
hanya diam menanggapi sikapku.
Beberapa menit
yang panjang telah berlalu dan telah terganti oleh jam-jam menegangkan dalam
hidup kami, entah berapa lama kami berada di sana, tetapi dari jam tanganku,
kami telah terjebak tanpa bisa bergerak bebas selama hampir 3 jam dan tiada
sinyal di handphone kami, suasana di atas yang awalnya ramai menjadi kian
sunyi, dan meski kami terus berteriak-teriak tiap ada harapan, tampak tidak
membuahkan apa-apa.
“Ven, udah tiga
jam nih, kamu keluar sana” Kata Bella, sejujurnya aku mau bertahan labih lama
lagi asal Bella selamat, atau lebih baik jika Bella yang keluar, tetapi Bella
terus saja memojokkanku, hingga akhirnya aku mengambil langkah pendakian
pertama menuju celah itu.
Dengan amat
sangat hati-hati aku mulai merangkak naik hingga mencapai lubang itu, aku
berhenti sejenak, kamudian mulai keluar dari lubang dan langsung terjatuh ke
luar sementara kausku sobek terkena besi penentu yang tak mungkin kuhindari.
Lega dapat
menghirup udara segar, tetapi mataku mulai buram, dan terdengar suara kertakan
di belakangku, segera saja aku berusaha berdiri meski kakiku terasa amat lemas
dan tidak kuperhatikan darah yang mengalir dari tubuhku, aku hanya terfokus
pada bangunan yang jatuh menimpa Bella sahabat baikku.
Meski tenagaku
terkuras dan darah terus mangalir, aku tetap berusaha mencari Bella dalam
reruntuhan itu, kukeluarkan semua tenaga dan pikiranku untuk membuka kayu demi
kayu dan batu bata di depanku, aku berusaha berteriak memanggil Bella meski
kerongkonganku terasa sakit, dan aku terus berharap pada Tuhan agar Bella tetap
hidup saat kutemukan dia.
Pencarianku
membuahkan hasil, dapat kulihat Bella tergeletak lemas, tetapi matanya masih
memandangku dan senyum kecilnya masih mengarah padaku, aku segera mengulurkan
tanganku untuk memegang tangannya sementara tangan kiriku masih terus membuka
kayu yang menghalangi, hingga akhirnya ia dapat kutarik keluar.
“Bel, kamu nggak
apa-apa?” Tanyaku panik “Nggak tau Ven” Bisiknya lirih, aku nggak tau apa yang
harus kulakukan, dan akhirnya aku menggendong Bella menuju rumah sakit yang
kuharpkan masih berdiri.
Dengan sisa
tenaga terakhirku kubawa sahabatku dalam pangkuan tanganku yang bergemetaran
karena lelah “Udah Ven, nggak usah” Bisik Bella pelan “Nggak Bel, aku masih
sehat” Kataku sambil tersenyum menutupi fakta yang sebenarnya bahwa tenagaku
hampir habis.
Mungkin baru
separuh perjalanan, aku hampir pingsan, tetapi tidak kubiarkan Bella menderita,
tetapi... kakiku tidak bisa diajak kompromi, aku terjatuh di atas dua lututku
dan tetap berdoa agar Tuhan menolong kami.
Kurasa doaku
telah Ia dengar, suara sirine ambulance mendatangi kami dan berhenti di samping
kami. Yang kuingat saat itu adalah beberapa orang mengenakan baju putih turun
dan segera menolong Bella, dan setelah itu... aku tidak tahu apa yang terjadi,
sebab mataku telah gelap.
Ketika aku
terbangun, yang kulihat adalah langit yang tampak biru seperti biasanya, ah,
berarti aku masih di bumi. Segera saja aku duduk dan berusaha berdiri, namun
ada seorang wanita cantik yang menyuruhku tetap tenang “Nggak mbak, aku nggak
apa-apa” Kataku seraya berdiri dan melihat sekitarku, yang ada hanya kumpulan
orang-orang korban gempa dan para relawan “Bella, Bella” Erangku pelan, entah
kenapa suaraku tertahan di tenggorokkanku, aku segera berjalan mencari Bella di
antara kerumunan orang, kurasa kakiku kali ini cukup dapat diajak kompromi dan
suaraku mulai berkerjasama, sekuat tenaga aku memanggil nama Bella, meski
kurasa itu tidak cukup keras.
Hingga akhirnya
kutemukan Bella sedang duduk dan tampak bingung, kepala, tangan dan kakinya
terperban, hampir mirip mumi, hahaha.
Aku segera
manghampiri sahabatku dan memeluknya dengan hati-hati seolah tak ingin dia
lepas dari pandanganku “Ven, makasih ya, kamu sudah menolongku” Kata Bella
“Bukan Bel, ini pertolongan Tuhan” Jawabku dan takingin rasanya kehilangan
satu-satunya sahabat terbaikku, yaitu Bella.
oleh : Kristina Andita Pradani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar